Senin, 04 Oktober 2010

TINJAUAN PERANAN POLA PIKIR KREATIF BAGI MASA DEPAN MANUSIA 

Daniel L. Pink (The Whole New Mind, 2005), mengungkapkan bahwa di era kreativitas, bila ingin maju kita harus melengkapi kemampuan teknologi kita (high‐tech) dengan hasrat untuk mencapai tingkat ʺhigh conceptʺ  dan ʺhigh touchʺ. High concept adalah kemampuan menciptakan keindahan artistik dan emosional, mengenali  pola‐pola dan peluang, menciptakan narasi yang indah dan menghasilkan temuan‐temuan yang belum disadari orang lain. High touch adalah kemampuan berempati, memahami esensi interaksi manusia, dan menemukan makna.

Beberapa prinsip yang harus dimiliki dalam pola pikir kreatif:
  • Not just function but also... DESIGN 
  • Not just argument, but also… STORY 
  • Not just focus, but also…SYMPHONY 
  • Not just logic, but also…EMPATHY 
  • Not just seriousness, but also…PLAY 
  • Not just accumulation, but also…MEANING
Howard Gardner, penulis buku tentang kemampuan kognisi, yang populer dengan teori kecerdasan majemuk (Multiple Intellegence) mengeluarkan lagi buku terbaru yaitu Five Minds of The Future, yang menyatakan bahwa terdapat 5 pola pikir utama yang diperlukan di masa yang akan datang, yaitu:
  1. Pola pikir disipliner (The Disciplinary Mind), yaitu pola pikir yang dipelajari di bangku sekolah. Dahulu yang dianggap sebagai disiplin ilmu adalah ilmu‐ilmu seperti sains, matematika, dan sejarah. Saat ini, sekolah‐sekolah harus menambahkan untuk mengajarkan paling tidak satu bidang seni secara serius seperti halnya disiplin ilmu lainnya.
  2. Pola pikir mensintesa (The Synthesizing Mind), yaitu kemampuan menggabungkan ide‐ide dari berbagai  disiplin ilmu atau menyatukannya ke dalam satu kesatuan dan kemampuan menyampaikan hasil  integrasi itu kepada orang banyak. Sering kali kita temui bahwa sebuah solusi yang kita cari‐cari ternyata justru ditemukan di area disiplin lain yang sama sekali berbeda dan sepintas tidak terlihat ada korelasinya. Pola pikir sintesa melatih kesadaran untuk berpikir luas dan fleksibel, mau menerima sudut pandang dari multi disiplin. Dalam konteks luas, dengan semakin banyaknya orang seperti ini di dalam suatu komunitas, maka komunitas itu akan menjadi semakin produktif dan semakin kreatif. Dalam konteks bisnis, ide‐ide baru tersebut akan lebih mudah diterima oleh konsumen. Dalam hal memperkenalkan produk atau jasa baru, strategi komunikasi dan pencitraan (branding) yang diperkuat dengan kemampuan sintesa akan meningkatkan kesuksesan di pasar.
  3. Pola pikir kreasi (The Creating Mind), yaitu kemampuan untuk mengungkapkan dan menemukan jawaban dari suatu permasalahan atau fenomena yang ditemuinya. Dalam konteks desain, proses kreasi selalu diawali dengan pengumpulan permasalahan‐permasalahan yang ada yang harus dipecahkan. Di akhir proses, akan dihasilkan desain‐desain baru yang tidak lain adalah hasil pemecahan suatu masalah. Tentu saja agar hasil maksimal, proses kreasi harus dibekali dengan bakat (talent) yang cukup. Dalam konteks bisnis, kemampuan ini bisa menggerakkan perusahaan‐perusahaan untuk lebih pro‐aktif, tidak hanya mengikuti trend, tetapi justru menciptakan trend.
  4. Pola pikir penghargaan (The Respectful Mind), yaitu kesadaran untuk mengapresiasi perbedaan di antara kelompok‐kelompok manusia. Pola pikir seperti ini sangat dibutuhkan dalam menciptakan keharmonisan di dalam lingkungan. Richard Florida (2001) mengatakan bahwa faktor penting agar kreativitas dapat tumbuh dan berkembang adalah dengan adanya tingkat toleransi (tolerance) yang tinggi di antara sesama anggota komunitas yaitu komunitas yang menghargai perbedaan. Tidak kalah pentingnya adalah sikap untuk menghargai karya cipta orang lain.
  5. Pola pikir etis (The Ethical Mind). Seorang warga negara yang baik akan memiliki tanggung jawab moral yang tinggi baik sebagai seorang pekerja maupun sebagai warganegara. Dalam konteks perubahan iklim dunia, penanaman nilai‐nilai etika terhadap lingkungan dapat mendorong terciptanya produk yang ramah lingkungan. Dalam konteks pekerjaan, ia akan menjadi seorang yang produktif dalam menghasilkan terobosan‐terobosan dan ia merasa malu bila ia meniru produk lain secara terang‐terangan.
Pola pikir yang telah dijabarkan di atas tentunya merupakan pola pikir kreatif yang sangat diperlukan untuk tetap tumbuh berkembang serta bertahan di masa yang akan datang. Sehingga dapat disimpulkan bahwa untuk menjadi pekerja kreatif tidaklah cukup memiliki bakat pandai menggambar, menari, menyanyi dan menulis cerita. Ia harus memiliki kemampuan mengorganisasikan ide‐ide multi disipliner dan juga kemampuan memecahkan masalah dengan cara‐cara di luar kebiasaan. Mengapa cara‐cara di luar kebiasaan perlu? Bila suatu teori atau cara menjadi populer, semakin lama keampuhan teori itu akan semakin berkurang karena semua orang menggunakan pendekatan‐pendekatan berdasarkan teori yang sama.

Thomas L. Friedman, (The World is Flat, 2005) dalam pembahasan The New Middlers (maksudnya adalah orang‐orang generasi baru yang mampu membuat dunia menjadi sangat dekat/flat) menyebut tujuh kemampuan wajib yang harus disiapkan oleh orang‐orang yang ingin berlaga di arena pekerjaan apapun pekerjaan itu: 
  1. Kemampuan dalam berkolaborasi dan mengorkestrasi (Great Collaborators and orchestrators)
  2. Kemampuan dalam mensintesakan segala sesuatu (The great synthesizers)
  3. Kemampuan dalam menjabarkan suatu konteks (The great explainers)
  4. Kemampuan dalam menciptakan nilai tambah (The great leveragers)
  5. Kemampuan dalam mengadaptasi terhadap lingkungan baru (The great adapters)
  6. Kesadaran yang tinggi terhadap kelestarian alam (The green people)
  7. Kemampuan handal dalam menciptakan kandungan lokal (The great localizers)


Yang dapat dipelajari dari ketiga cendekiawan ini adalah kecenderungan manusia untuk mulai memikirkan nilai‐nilai halus (soft value) atas segala sesuatu yang akan dilakukan, baik itu kegiatan ekonomi, bisnis, pendidikan maupun sosial di masa depan. Kesemuanya ini tidak akan mungkin terjadi apabila manusia tidak mulai mengaktifkan daya imajinasi dan kreativitasnya. Sehingga dalam era perekonomian kreatif ini, kreativitas diperlukan secara mutlak sebagai landasan dasar pengembangan industri kreatif.

(STUDI INDUSTRI KREATIF INDONESIA 2008 © Departemen Perdagangan RI)

Minggu, 26 September 2010

Evolusi Ekonomi Kreatif

Pergeseran dari Era Pertanian lalu Era Industrialisasi, disusul oleh era informasi yang disertai dengan banyaknya penemuan baru di bidang teknologi infokom serta globalisasi ekonomi, telah menggiring peradaban manusia kedalam suatu arena interaksi sosial baru yang belum pernah terbayangkan sebelumnya.

Industrialisasi telah menciptakan pola kerja, pola produksi dan pola distribusi yang lebih murah dan lebih  efisien. Penemuan baru di bidang teknologi infokom seperti internet, email, SMS, Global System for Mobile communications (GSM) telah menciptakan interkoneksi antar manusia yang membuat manusia menjadi semakin produktif. Globalisasi di bidang media dan hiburan juga telah mengubah karakter, gaya hidup dan  perilaku masyarakat menjadi lebih kritis dan lebih peka atas rasa serta pasar pun menjadi semakin luas dan semakin global.

Sisi lain yang muncul dari fenomena tersebut adalah kompetisi yang semakin keras. Kondisi ini mengharuskan perusahaan mencari cara agar bisa menekan biaya semurah mungkin dan se‐efisien mungkin. Konsentrasi  industri berpindah dari negara barat ke negara‐negara berkembang di Asia karena tidak bisa lagi menyaingi  biaya murah di Republik Rakyat Tiongkok (RRT) dan efisiensi industri negara Jepang. Negara‐negara maju mulai menyadari bahwa saat ini mereka tidak bisa mengandalkan supremasi dibidang industri lagi, tetapi mereka harus lebih mengandalkan SDM yang kreatif, sehingga kemudian pada tahun 1990‐an dimulailah era  ekonomi baru yang mengintensifkan informasi dan kreativitas, yang populer disebut Ekonomi Kreatif yang digerakkan oleh sektor industri yang disebut Industri Kreatif.


Dari pemaparan singkat di atas kita dapat mengetahui bahwa Ekonomi Kreatif sebenarnya adalah wujud dari upaya mencari pembangunan yang berkelanjutan melalui kreativitas, yang mana pembangunan berkelanjutan adalah suatu iklim perekonomian yang berdaya saing dan memiliki cadangan sumber daya yang terbarukan. Dengan kata lain, ekonomi kreatif adalah manifestasi dari semangat bertahan hidup yang sangat penting bagi negara‐negara maju dan juga menawarkan peluang yang sama untuk negara‐negara berkembang. Pesan besar yang ditawarkan ekonomi kreatif adalah pemanfaatan cadangan sumber daya yang bukan hanya terbarukan, bahkan tak terbatas, yaitu ide, talenta dan kreativitas.

Negara‐negara membangun kompetensi ekonomi kreatif dengan caranya masing‐masing sesuai dengan kemampuan yang ada pada negara tersebut. Ada beberapa arah dari pengembangan industri kreatif ini, seperti pengembangan yang lebih menitikberatkan pada industri berbasis: (1) lapangan usaha kreatif dan budaya (creative  cultural  industry); (2) lapangan usaha kreatif (creative industry), atau (3) Hak Kekayaan Intelektual seperti hak cipta (copyright industry).

Di Indonesia, peran industri kreatif dalam ekonomi Indonesia cukup signifikan dengan besar kontribusi terhadap PDB rata‐rata tahun 2002‐2006 adalah sebesar 6,3% atau setara dengan 104,6 Triliun rupiah (nilai konstan) dan 152,5 triliun rupiah (nilai nominal). Industri ini telah mampu menyerap tenaga kerja rata‐rata tahun 2002‐2006 adalah sebesar 5,4 juta dengan tingkat partisipasi sebesar 5,8%.

Jika ditinjau dari sisi ekspor, maka berdasarkan estimasi klasifikasi subsektor, peran ekonomi kreatif terhadap total ekspor rata‐rata untuk tahun 2002‐2006 adalah sebesar 10,6%. Namun ada kemungkinan bahwa estimasi ini terlalu tinggi karena untuk fesyen dan alas kaki sulit dibedakan antara ekspor yang produk maklon dengan yang memiliki konten kreatif di dalamnya. Di sisi lain, ekspor industri kreatif yang berbasis jasa, nilai ekspornya dinilai masih underestimed. Kajian yang dilakukan adalah berdasarkan data sekunder yang memang ada ketidaksempurnaan. Hal tersebut akan diperbaiki dan direvisi secara terus‐menerus dengan survei dan rapid mapping. (dari: STUDI INDUSTRI KREATIF INDONESIA 2008 © Departemen Perdagangan RI)


Rabu, 16 Juni 2010

10 things you can do to help biodiversity

10 things you can do to help biodiversity
by David Hooper
Dept. of Biology
Western Washington University


Biodiversity is threatened by the combined actions of our society just going about our day-to-day business (see Fig. 1). Most people aren’t actively trying to harm biodiversity, but it’s often difficult to see the connections between what we do and the downstream effects. As a rule of thumb, humanity’s global environmental impact (I) is a function of total population size (P), affluence (A)(i.e., the extent of each person’s resource use), and technology (T)(i.e., with what efficiency can we get what we need), or I = PAT (Ehrlich and Ehrlich 1981). To help get a sense of what your own impact might be, you can calculate your “ecological footprint”. With some simple changes of habit, you can lessen your own adverse effects. Here are ten simple (and a couple not so simple) things that will help reduce your own environmental impact, and thereby your adverse impact on biodiversity. Many of them help in multiple ways.

Habitat


  1. Reduce use of pesticides and fertilizers in lawn care. These often run off of lawns into adjacent lakes and streams with adverse effects for the plants and animals living there. See these links for lawn care advice: http://www.pioneerthinking.com/lawn.html; http://www.qc.ec.gc.ca/ecotrucs/solutionsvertes/lawncare.htm.
  2. Get involved with ecological restoration in your area. Most areas have groups active in restoration. By volunteering, you can help restore habitat for native species and eliminate invasive species, all while learning something about your local plants and animals and getting active out in the fresh air. Do you own land adjacent to ecologically sensitive areas (e.g., woodlands, riparian areas, lakes)? Check with local conservation or restoration groups (e.g., Nooksack Salmon Enhancement Association) about the prospects of enhancing or restoring habitat on your property.


Waste stream


  1. Reduce, reuse, and recycle, with an emphasis on the first one. Ok, everyone has heard of this, but it comes down to the “A” in the I = PAT equation. The more we can each reduce our demand for new resources, the less habitat conversion will be necessary to get those resources or the energy to make the products we demand, and the less waste goes into the landfill.
  2. Composting both reduces the overall waste stream and thereby the need for landfill space, and it provides natural slow-release fertilizer for your flower or vegetable garden. As we say when cleaning out our fridge of all those moldy leftovers, “Eat it next year!”.
  3. Use environmentally friendly products for cleaning. This reduces chemical contamination of habitats both during manufacturing and when those chemicals go down the drain. One link of many: http://www.ecomall.com/biz/cleaning.htm.


Food choices


  1. Buy organic foods. This helps reduce inputs of fertilizers and pesticides into the environment, which in turn reduces negative impacts on nearby beneficial insects (for pollination and pest control) and adjacent aquatic biodiversity. Organic foods are increasingly available, even in regular supermarkets. Your favorite place to shop doesn’t offer any? Start requesting it!
  2. Buy sustainably harvested seafood. Many seafoods, though delicious, are not harvested sustainably – either for the individual species itself or for those species that are unlucky enough to be ensnared as “by catch”. Some trawlers destroy extensive seafloor habitat in the process of catching fish; many shrimp farms destroy mangrove forests important as nurseries for wild fish species. See the Monterey Bay Aquarium Seafood Watch for a better understanding of how your favorite seafood fares.

Energy use - By reducing your energy demand, you reduce both carbon dioxide release into the atmosphere, which contributes to global warming, and the need to disturb habitat for fossil fuel prospecting and extraction. Plus, you save money!


  1. Aim for energy conservation in your home. Home energy audits are often available from your local power companies. They know that it’s more economical to conserve than having to build new power plants. Check out the Home Energy Saver web site.
  2. Reduce single-person car use. Each gallon of gasoline burned releases ~20 pounds of the greenhouse gas CO2. Car pooling, public transport, walking, and bicycling are often options. Gotta drive? Look into the growing number of fuel efficient vehicles, either gas-electric hybrids or turbo diesel (tdi) models. If you use 100% biodiesel, you can even make your driving “carbon neutral” – no more CO2 released into the atmosphere from your vehicle than was taken up by photosynthesis by the plants used to make your fuel.
  3. Incorporate renewable energy and/or energy efficiency into your next home. Thinking about building a new home or remodeling? With some careful thought about your region, your site, and your needs, you can drastically reduce your own energy consumption and still have a beautiful, comfortable home. While you’re at it, think about some of the many alternative building and “green landscaping” materials out there. See the Home Energy Saver web site, above, and this recent article on Designing a "Green" Building.

This one goes to 11:

  1. VOTE – Keep abreast of legislation affecting biodiversity and support people who demonstrate their support for long-term ecological sustainability.

Other resources and links for action:
Co-op America – Greening your office
Natural Resource Ecology Lab
American Museum of Natural History
Business and Biodiversity
Links to information
Do a Google search for your own area. There is lots of information on the web!

REFERENCES CITED
Ehrlich, P. R., and A. H. Ehrlich. 1981. Extinction: the causes and consequences of the disappearance of species. Random House, New York.
Molles, M.C. Jr. 2004. Ecology: Concepts and Applications, 3rd ed. McGraw-Hill Publishers, Boston.

Sabtu, 22 Mei 2010

Penerapan Teknologi Pengolahan Dalam Pengelolaan Sampah

Salah satu upaya untuk mengurangi jumlah sampah di perkotaan dan menunjang penerapan zero waste adalah dengan melakukan pengolahan sampah. Saat ini pengurangan/reduksi sampah hanya dilakukan melalui kegiatan pemulungan sampah (daur ulang) yang secara sporadis telah dilakukan oleh sektor informal (pemulung). Pengomposan sampah baru dilakukan dalam tahap skala kecil melalui Unit Daur Ulang dan Produksi Kompos (UDPK) yang ada umumnya terletak di TPA, sehingga merupakan beban dan tugas yang harus dilakukan oleh Pemda untuk mengangkut sampah ke TPA.
Program daur ulang di Indonesia yang telah dilaksanakan di Indonesia sejak tahun 1986 baru dapat mencapai 1,8 %, kondisi ini belum cukup untuk mengurangi laju pertumbuhan jumlah sampah yang akan meningkat lima kalinya pada tahun 2020.
Dengan demikian penerapan teknologi pengolahan sampah sudah waktunya untuk dimulai, sehingga sampah sisa yang harus dibuang ke lahan pembuangan akhir hanya sedikit dan penggunaan lahan pembuangan akhir lebih lama, selain itu pencemaran lingkungan dapat ditekan.
Secara umum penerapan teknologi pengolahan sampah perkotaan dan pemanfaatannya dapat dilihat gambar dibawah ini :